Rabu, 31 Desember 2014

Hubungan Psikologi Sosial dengan BK



A.    Motif dan Motivasi
Motif adalah dorongan yang menggerakkan seseorang bertingkah laku. Dorongan ini hidup pada diri seseorang dan setiap kali mengusik dan menggerakkan orang itu untuk melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang terkandung di dalam dorongan itu sendiri. Dengan demikian, suatu tingkah laku yang didasarkan pada motif tertentu tidaklah bersifat sembaranagn atau acak, melainkan mengandung isi atau tema sesuai dengan motif yang mendasarinya. Motif digolongkan menjadi dua, yaitu motif primer dan motif sekunder.
-          Motif primer didasari oleh kebutuhan asli yang sejak semula telah ada pada diri setiap individu sejak ia lahir, seperti: rasa lapar, bernapas, dan haus. Kebutuhan-kebutuhan tersebut harus terpenuhi, sebab kalau tidak, tantangannya adalah maut.
-          Motif sekunder tidak dibawa sejak lahir, melainkan terbentuk  bersamaan dengan proses perkembangan individu yang bersangkutan. Motif ini terbentuk dari hasil belajar, seperti berpakaian, melukis, berekreasi, melakukan penelitian, menyimpan uang di bank, memperoleh pengetahuan atau keterampilan tertentu, dll.
Motif yang sedang aktif, biasa disebut motivasi. Motivasi erat sekali hubungannya dengan perhatian, tingkah laku yang didasari oleh motif tertentu biasanya terarah pada suatu objek yang sesuai dengan isi atau tema kandungan motifnya. Berkenaan dengan kaitan antara motif dan objek tingkah laku, dikenal dengan adanya motif yang bersifat intrinsik dan ekstrinsik. Motif intrinsik dapat ditemui apabila isi atau tema pokok tingkah laku sesuai dengan atau berada dalam isi atau tema pokok objek tingkah laku itu. Sedangkan motif ekstrinsik dapat dijumpai apabila isi atau tema pokok tingkah laku tidak bersesuaian atau berada di luar isi atau tema pokok objeknya. Dalam motif ekstrinsik, objek tingkah laku seolah-olah hanya menjadi sekedar jembatan atau perantara bagi terjangkaunya isi atau tema pokok yang lain di luar isi atau tema pokok objek langsung tingkah laku tersebut.
B.     Pembawaan dan Lingkungan
Pembawaan dan lingkungan berkenaan dengan faktor-faktor yan membntuk dan mempengaruhi perilaku individu. Pembawaan adalah segala sesuatu yang dibawa sejak lahir dan merupakan hasil dari keturunan, yang mencakup aspek psikofisik, seperti struktur otot, warna kulit, golongan darah, bakat, kecerdasan, atau ciri-ciri kepribadian tertentu. Pembawaan pada dasarnya bersifat potensial dan perlu dikembangkan.  Untuk mengoptimalkan dan mewujudkannya bergantung pada lingkungan tempat individu itu berada. Pembawaan dan lingkungan setiap individu berbeda-beda. Ada individu yang memiliki pembawaan yang tinggi dan ada pula yang sedang atau bahkan rendah. Misalnya dalam kecerdasan, ada yang sangat tinggi (genius), normal atau bahkan sangat kurang (debil,embisil, atau idiot).
 Demikian pula dengan lingkungan, ada individu yang dibesarkan dilingkungan yang kondusif dengan sarana dan prasarana yang memadai, sehingga segenap potensi bawaan yang dimilikinya dapat berkembang secara optimal. Namun, ada pula individu yang hidup dan berada dalam lingkungn yang kurang kondusif dengan sarana dan prasarana yang serba terbatas sehingga segenap potensi bawaan yang dimilikinya tidak dapat berkembang dengan baik dan menjadi sia-sia. Keadaan pembawaan dan lingkungan seorang individu dapat diketahui dan melalui penerapan instrumentasi konseling (baik tes maupun non tes) yang dipergunakan oleh konselor. Pemahaman tentang faktor-faktor pembawaan itu perlu mendapat perhatian utama. Lebih dari itu, konselor perlu menyikapi kondisi pembawaan dan lingkungan sasaran layanannya secara dinamis. Artinya, konselor memandang apa-apa yang terdapat di dalam pembawaan sebagai modal atau aset yang harus ditumbuh-kembangkan secara optimal. Justru menjadi pokok konselorlah untuk memahami sebesar apa modal yang dimiliki oleh klien dan mengupayakan pengaturan lingkungan agi pengembangan modal itu sambil meningkatkan motivasi klien untuk berbuat searah dengan penumbuh-kembangan modalnya.
C.     Perkembangan Individu
Perkembangan individu berkenaan dengan proses tumbuh dan berkembangnya individu yang merentang sejak masa konsepsi (pranatal) hingga akhir hayatnya, diantaranya meliputi aspek fisik dan psikomotorik, bahasa dan kognitif/kecerdasan, moral dan sosial. Beberapa teori tentang perkembangan individu yang dapat dijadikan sebagai rujukan, di antaranya: (1) teori dari McCandless tentang pentingnya dorongan biologis dan kultural dalam perkembangan individu; (2) teori dari Freud tentang dorongan seksual; (3) teori dari Erickson tentang perkembangan psikososial; (4) teori dari Piaget tentang perkembangan kognitif; (5) teori dari Kohlberg tentang perkembangan moral; (6) teori dari Zunker tentang perkembangan karir; (7) teori dari Buhler tentang perkembangan sosial; (8) teori dari Havighrust tentang tugas-tugas perkembangan individu semenjak masa bayi sampai masa dewasa. Selengkapnya dari teori Havighrust adalah sebagai berikut:
Tugas perkembangan Masa Bayi dan Kanak-Kanak (0-5 tahun)
-          Belajar berjalan
-          Belajar memakan makanan padat
-          Belajar berbicara
-          Belajar mengontrol pembuangan kotoran dari diri sendiri(buang air kecil dan air besar)
-          Belajar menbedakan jenis kelamin
-          Mencapai kematangan fisik
-          Membentuk konsep-konsep sederhana mengenai realitas sosial fisik
-          Belajar berhubungan secara emosional dengan orang tua, saudara kandung, dan orang  lain
-          Belajar memahami yang baik dan yang buruk
Tugas Perkembangan Anak-Anak (6-11 tahun)
-          Mempelajari keterampilan fisik yang perlu untuk berbagai permainan  sederhana
-          Membina sikap hidup sehat, untuk diri sendiri dan lingkungan
-          Belajar bergaul dengan teman sebaya
-          Belajar menjalankan peranan sosial yang tepat sesuai dengan jenis kelaminnya
-          Belajar keterampilan dasar; membaca, menulis, berhitung
-          Mengembangkan konsep-konsep yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari
-          Mengembangkan kata hati, moral, dan nilai-nilai
-          Mencapai kebebasan pribadi
-          Mengembangkan sikap terhadap kelompok-kelompok sosial dan lembaga sosial
Tugas Perkembangan Masa Remaja(12-18 tahun)
-          Mencapai hubungan-hubungan yang baru dan lebih matang dengan teman sebaya antar jenis kelamin yang sama dan berbeda
-          Mencapai perana sosial sebagai pria dan wanita
-          Menerima kesatuan tubuh sebagaimana adanya dan menggunakannya secara efektif
-          Mencapai kemerdekaan emosional terhadap orang tua dan orang dewasa lainnya
-          Mencapai keadaan dimilikinya jaminan untuk kemerdekaan ekonomi
-          Memilih dan mempersiapkan diri untuk suatu pekerjaan
-          Mempersiapkan diri untuk pernikahan dan kehidupan berkeluarga
-          Mengembangkan keterampilan intelektual dan konsep-konsep yang perlu untuk kehidupan sebagai warga negara
-          Mengembangkan hasrat dan mencapai kemampuan beringkah laku yang dapat dipertimbangkan secara sosial
-          Menguasai seperangkat nilai dan sistem etika sebagai pedoman
Tugas Perkembangan Masa Dewasa (19-30 tahun)
-          Memilih pasangan hidup
-          Belajar hidup dengan pasangan dalam ikatan perkawinan
-          Memulai kehidupan berkeluarga
-          Memelihara dan mendidik anak
-          Mengelola rumah tangga
-          Mulai menjalani karier tertentu
-          Memiliki tanggung jawab sebagai warga negara
-          Menemukan kelompok-kelompok sosial yang sesuai
Dalam menjalankan tugas-tugasnya, konselor harus memahami berbagai aspek perkembangan individu yang dilayaninya, sekaligus dapat melihat arah perkembangan individu itu di masa depan, serta keterkaitannya dengan faktor pembawaan dan lingkungan.
D.    Belajar
Belajar merupakan salah satu konsep yang amat mendasar dar psikologi. Setiap orang belajar untuk hidup. Tanpa belajar, seseorang tidak akan dapat mempertahankan dan mengembangkan dirinya, dan dengan belajar, seseorang mampu berbudaya dan mengembangkan hasrat kemanusiaanya. Inti dari perbuatan belajar adalah sebagai upaya untuk menguasai  sesuatu yang baru dengan memanfaatkan yang sudah ada pada diri individu. Penguasaan yang baru itulah yang merupakan tujuan belajar dan pencapaian sesuatu yang baru itulah yang merupakan tanda-tanda perkembangan, baik dalam aspek kognitif, afektif maupun psikomotor /keterampilan. Untuk terjadinya proses belajar diperluklan prasyarat belajar, baik berupa prasyarat psikiofisik yang dihasilkan dari kematangan ataupun hasil belajar sebelumnya.
Untuk memahami hal-hal yang berkaitan dengan belajar, ada beberapa teori belajar yang bisa dijadikan rujukan, diantaranya adalah:
1.      Teori Belajar Behaviorisme
a.       Teori belajar asosiatif adalah teori belajar yang semula dibangun oleh Pavlov. Atas dasar eksperimennya, Pavlov menyimpulkan bahwa perilaku itu dapat dibentuk dari kodisioning atau kebiasaan. Hewan coba membuat asosiasi atau hubungan baru antara dua peristiwa. Misalnya anak dibiasakan mencuci kaki sebelum tidur, atau membiasakan menggunakan tangan kanan untuk menerima pemberian dari orang lain. Di samping Pavlov (Ivan Petrovich Pavlov) yang termasuk teori belajar asosiasi juga Guthrie (Edwin Ray Guthrie) dan Estes(William Kaye Etes) (Hergenhahn dan Olson, 1997)
b.      Teori belajar fungsionalistik. Seperti diketahui bahwa dalam aliran Behaviorisme ada yang asosiatif dan fungsional. Yang asosiatif dipelopori oleh Pavlov, sedangkan yang fungsional antara lain oleh Thorndike dan Skinner.
-          Thorndike, dengan eksperimennya sampai pada kesimpulan bahwa dalam belajar itu dapat dikemukakan adanya beberapa hukum, yaitu(1) hukum kesiapan, (2) hukum latihan, (3)hukum efek.
-          Skinner, apabila dicermati dalam eksperimen Skinner terdapat adanya sifat eksperimen Pavlov juga terdapat sifat eksperimen Thorndike. Sifat dari eksperimen Thorndike pada Skinner yaitu bahwa hewan coba untuk mencapai tujuannya (makanan) harus berbuat. Sifat dari eksperimen Pavlov pada Skinner yaitu adanya experimental extinction. Menurut Skinner dalam kondisioning peran ada dua prinsip umum, yaitu:
ü  Setiap respons yang diikuti oleh reward (merupakan reinforcing stimuli) akan cenderung diulangi
ü  Reward yang merupakan reinforcing stimuli akan meningkatkan kecepatan terjadinya respons.
Jadi kalau peminta-minta diberi uang (reward) maka perbuatan tersebut cenderung diulangi
Menurut Hergenhahn dan Olson (1997) di samping Thorndike dan Skinner masih terdapat ahli lain yang termasuk teori belajar fungsionalistik yaitu Hull (Clark Leonard Hull).
2.      Teori belajar yang berorientasi pada aliran kognitif
a.       Kohler, teori belajar yang berorientasi pada aliran kognitif dirintis oleh Kohler. Dalam eksperimennya Kohler sampai pada kesimpulan bahwa hewan coba dalam belajar memecahkan masalah adalah dengan insight (insightfull learning). Walaupun demikian kohler tidak mengingkari adanya trial and error dalam memecahkan masalah seperti yang dikemukakan oleh Thorndike. Tetapi menurut Kohler dalam memecahkan masalah yang penting adalah insight. Seperti diketahui Kohler yang membawa prinsip Gestalt dalam hal belajar. Semul Gestalt timbul dalam hal persepsi dan Gestalt dapat dipandang sebagai pendahulu dari aliran kognitif (Schultz dan Schultz,1992).
b.      Jean Piaget. Salah satu pengertian yang dikemukakan oleh Piaget adalah asimilasi dan akomodasi. Proses merespons individu tehadap lingkungan yang sesuai dengan struktur kognitif individu adalah merupakan asimilasi.asimilasi adalah menyelaraskan (matching) antara struktur kognitif dengan lingkungan. Misalnya apabila pada anak hanya ada skema menyusu, memegang, marah, maka pengalaman-pengalamannya akan diasimilasikan dengan skema-skema tersebut. Menurut Piaget akomodasi merupakan wahana untuk intelektual development. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa agar terjadi proses belajar, maka informasi harus diberikan sedemikian rupa, sehingga dapat terjadi proses asimilasi dan sekaligus terjadi akomodasi. Dengan adanya akomodasi akan berubah struktur kognitifnya. Apabila informasi tidak dapat diasimilasi, maka ini berarti bahwa informasi tersebut tidak dapat dimengerti. Tetapi sebaliknya apabila seluruhnya dapat dimengerti secara tuntas, ini tidak diperlukan belajar, sebab tidak terjadi akomodasi.
E.     Kepribadian
Hingga kini, para ahli tampaknya masih belum menemukan rumusan kepribadian secara bulat dan komperhensif. Dalam suatu penelitian kepustakaan yang dilakukan oleh Gordon W. Allport (Calvin S. Halldan Gardner Lindzey, 2005) ditemukan hampir 50 definisi tentang kepribadian yang berbeda-beda. Berangkat dari studi yang dilakukannya, Gordon menemukan satu rumusan tentang kepribadian yang dianggap lebih lengkap. Menurut pendapatnya, kepribadian adalah organisasi organisasi dinamis dalam diri individu sebagai sistem psikofisik yang menentukan cara yang unik dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Kata kunci dari pengertian kepribadian adalah penyesuaian diri. Scheineder dalam Syamsu Yusuf (2003) mengartikan penyesuaian sebagai  “suatu proses respons individu, baik yang bersifat behavioral maupun mental dalam upaya mengatasi kebutuhan-kebutuhan dari dalam diri, ketegangan emosional, frustasi dan konflik, serta memelihara keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan tersebut dan tuntutan (norma) lingkungan.
Adapun yang dimaksud dengan unik bahwa kualitas perilaku itu khas sehingga dapat dibedakan antara individu satu dengan individu lainnya. Keunikannya itu didukung oleh keadaan struktur psikofisiknya, misalnya konstitusi dan kondisi fisik, tampang, hormon, segi kognitif dan afektifnya yang saling berhubungan dan berpengaruh, sehingga menentukan kualitas tindakan atau perilaku individu yang bersangkutan dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Untuk menjelaskan kepribadian individu, terdapat beberapa teori kepribadian yang sudah banyak dikenal, diantaranya: teori psikoanalisis dari Sigmund Freud, teori analitik dari Carl Gustav Jung, teori sosial psikologis dari Adler, Fromm, Horney, dan Sullivan, teori personologi dari Murray, teori medan dari Kurt Lewin, teori psikologi individual dari Allport, teori stimulus-respons dari Thorndike, Hull, Watson, teori the self dari Carl Rogers, dan sebagainya. Sementara itu, Abin Syamsuddin(2003) mengemukakan aspek-aspek kepribadian, yang mencakup hal berikut.
1.      Karakter; konsekuen-tidaknya dalam mematuhi etika perilaku, konsisten-tidaknya dalam memegang pendirian atau pendapat;
2.      Temperamen; yaitu disposisi reaktif seorang, atau cepat-lambatnya mereaksi terhadap rangsangan-rangsangan yang datang dari lingkungan;
3.      Sikap; sambutan terhadap objek yang bersifat postif, negatif, atau ambivalen;
4.      Stabilitas emosi; yaitu kadar kestabilan reaksi emosional terhadap rangsangan dari lingkungan, seperti mudah tidaknya tersinggung, sedih, atau putus asa;
5.      Responsibilitas (tanggung jawab), yaitu kesiapan menerima risiko dari tindakan atau perbuatan yang dilakukan. Misalnya, menerima risiko secara wajar, “cuci tangan” atau melarikan diri dari risiko yang dihadapi.
6.      Sosiabilitas; yaitu disposisi pribadi yang berkaitan dengan hubungan interpersonal, seperti sifat pribadi yang terbuka atau tertutup dan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain.
Untuk kepentingan layanan bimbingan dan konseling dalam upaya memahami dan mengembangkan perilaku individu yang dilayaninya (klien), konselor harus dapat memahami dan mengembangkan setiap motif dan motivasi yang melatarbelakangi perilaku individu yang dilayaninya (klien). Selain itu, seorang konselor juga harus dapat mengidentifikasi aspek-aspek potensi bawaan dan menjadikannya sebagai modal untuk memperoleh kesuksesan dan kebahagiaan hidup kliennya. Begitu pula, konselor sedapat mungkin mampu menyediakan lingkungan yang kondusif bagi pengembangan segenap potensi bawaan kliennya. Terkait dengan upaya pengembangan belajar klien , konselor dituntut untuk memahami aspek-aspek dalam belajar serta berbagai teori belajar yang mendasarinya. Berkenaan dengan upaya pengembangan kepribadian klien, konselor harus memahami karakteristik dan keunuikan kepribadian kliennya, oleh karena itu agar konselor benar-benar menguasai landasan psikologis, setidanya terdapat empat bidang  psikologi yang harus dikuasai dengan baik, yaitu bidang psikologi umum, psikologi perkembangan, psikologi belajar atau psikologi pendidikan, dan psikologi kepribadian.

Tes Kraepelin



BAB I
TES KRAEPELIN
1.1 SEJARAH
Tes kraepelin diciptakan oleh seorang psikiater jerman bernama Emilie kraepelin pada tahun 1856 – 1926. Alat tes ini terlahir karena adanya dasar pemikiran dari faktor-faktor yang khas pada sensori sederhana, sensori motor, perseptual dan tingkah laku. Pada mulanya merupakan tes kepribadian. Namun dalam pekembangannya telah berubah menjadi tes bakat, dengan cara merubah tekanan skoring dan interpretasi. Satu hal yang perlu anda ketahui bahwa alat tes ini akan mengungkap beberapa faktor bakat diantaranya: kecepatan, ketelitian, keajegan, dan ketahanan kerja di dalam tekanan.
Emil Kraepelin dilahirkan pada tanggal 15 Pebruari 1856 di Neustrelitz dan wafat pada tanggal 7 Oktober 1926 di Munich. Ia menajdi dokter di Wurzburg tahun 1878, lalu menjadi dokter di rumah sakit jiwa Munich. Pada tahun 1882 ia pindah ke Leipzig untuk bekerja dengan Wundt yang pernah menjadi kawannya semasa mahasiswa. Dari tahun 1903 sampai meninggalnya, ia menjadi profesor psikiatri di klinik psikiatri di Munich dan sekaligus menjadi direktur klinik tersebut. Emil Kraepelin adalah psikiatris yang mempelajari gambaran dan klasifikasi penyakit-penyakit kejiwaan, yang akhirnya menjadi dasar penggolongan penyakit-penyakit kejiwaan yang disebut sebagai Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM), diterbitkan oleh American Psychiatric Association (APA). Emil Kraepelin percaya bahwa jika klasifikasi gejala-gejala penyakit kejiwaan dapat diidentifikasi maka asal usul dan penyebab penyakit kejiwaan tersebut akan lebih mudah diteliti. Kraepelin menjadi terkenal terutama karena penggolongannya mengenai penyakit kejiwaan yang disebut psikosis. Ia membagi psikosis dalam dua golongan utama yaitu dimentia praecox dan psikosis manic-depresif. Dimentia praecox merupakan gejala awal dari penyakit kejiwaan yang disebut schizophrenia. Kraepelin juga dikenal sebagai tokoh yang pertama kali menggunakan metode psikologi pada pemeriksaan psikiatri, antara lain menggunakan test psikologi untuk mengetahui adanya kelainan-kelainan kejiwaan. Salah satu test yang diciptakannya di kenal dengan nama test Kraepelin. Test tersebut banyak digunakan oleh para sarjana psikologi di Indonesia pada era tahun 1980an.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Aspek – aspek tes Kraepelin
Alat tes ini terlahir karena adanya dasar pemikiran dari faktor-faktor yang khas pada sensori sederhana, sensori motor, perseptual dan tingkah laku. Pada mulanya merupakan tes kepribadian. Namun dalam pekembangannya telah berubah menjadi tes bakat, dengan cara merubah tekananskoring dan interpretasi. Satu hal yang perlu anda ketahui bahwa alattes ini akan mengungkap beberapa faktor bakat diantaranya: kecepatan, ketelitian, keajegan, dan ketahanan kerja di dalam tekanan.
Kraepelin menjadi terkenal terutama karena penggolongannya mengenai penyakit kejiwaan yang disebut psikosis. Ia membagi psikosis dalam dua golongan utama yaitu dimentia praecox dan psikosis manic-depresif. Dimentia praecox merupakan gejala awal dari penyakit kejiwaan yang disebut schizophrenia.
Kraepelin juga dikenal sebagai tokoh yang pertama kali menggunakan metode psikologi pada pemeriksaan psikiatri, antara lain menggunakan test psikologi untuk mengetahui adanya kelainan-kelainan kejiwaan. Salah satu test yang diciptakannya di kenal dengan nama test Kraepelin. Test tersebut banyak digunakan oleh para sarjana psikologi di Indonesia pada era tahun 1980an.
Menurut Dr. J. de Zeeuw, tes Kraepelin digolongkan sebagai tes yang mengukur faktor – faktor khusus non intelektual (tes konsenterasi). Sedangkan menurut Anne Anestesi, tes Kraepelin merupakan tes kecepatan. Ini ditunjukan dengan banyaknya soal yang dibatasi waktu dimana testi dipastikan tidak dapat menyelesaikan seluruh soal. Jadi pada tes Kraepelin memang testi tidak diharapkan untuk menyelesaikan seluruhnya setiap lajur. Yang dilihat disini adalah kecepatan kerja testi.
Selain kecepatan kerja, faktor – faktor lain yang diungkapkan adalah ketelitian, konsenterasi dan stabilitas kerja. Aspek – aspek yang berpengaruh bermacam – macam, misalnya persepsi visual, konseptual, koordinasi senso-motorik, pushing power, ketahanan, learning effect.
2.2. Tujuan pengetesan
• Tes kraepelin dimaksudkan untuk mengukur maximum performance seseorang. Oleh karenanya tekanan skoring dan interpretasi lebih didasarkan pada hasil test secara obyektif bukan pada arti proyektifnya.
• Dari hasil perhitungan obyektif, dapat diinterpretasikan 4 hal :
1. Faktor kecepatan (speed factor)
2. Faktor ketelitian (accuracy factor)
3. Faktor keajekan (rithme factor)
4. Faktor ketahanan (ausdeur factor)
2.3. Fungsi dan implementasi tes Kraeplin
• Tes kraepelin dapat digunakan untuk menentukan tipe performance seseorang, misalnya :
1. Hasil penjumlahan angka yang sangat rendah, dapat mengindikasikan gejala depresi mental
2. Terlalu banyak salah hitung, dapat mengindikasikan adanya distraksi mental
3. Penurunan grafik secara tajam, dapat mengindikasikan epilepsi atau hilang ingatan sesaat waktu tes.
4. Rentang ritme/grafik yang terlalu besar (antara puncak tertinggi & terendah) dapat mengindikasikan adanya gangguan emosional.
2.4. Alat yang dibutuhkan ( administrasi )
1. lembar tes Kraepelin, tes ini terdiri dari 45 lajur angka, namun biasanya yang dikerjakan hanya 40 lajur.
2. stopwatch
3. pensil
4. meja yang cukup luas
5. papan tulis , kapur atau flip chart untuk dipergunakan tester saat menjelaskan pada testi.
2.5. Prosedur pelaksanaan tes
1. bagikan lembar tes pada testi
2. testi diminta mengisi identitas pada tempat yang sudah ditentukan dalam lebar tes, dan tidak membuka lembaran tes sebelum diinstruksikan.
3. Berikan contoh mengisi/menjawab lembar tes di papan tulis.
4. Instruksi : “dalam tes ini anda akan menghadapi kolom – kolom yang terdiri dari angka. Tugas anda adalah “ :
1. Jumlahkan tiap – tiap angka dengan angka diatasnya, kerjakan dari atas kebawah.
2. Dari angka hasil penjumlahan tersebut, anda cukup menuliskan angka satuannya saja, misalnya hasil penjumlahan itu adalah 14 , maka anda hanya menulis angka 4 disamping kanan – antara kedua angka tersebut.
3. Bila anda membuat kesalahan dalam menjumlahkan, misalnya anda menjawab 8 padahal jawabannya adalah 3, mak anda tidak perlu menghapusnya. Anda cukup mencoret dengan satu garis angka yang salah tersebut dan menggantinya dengan angka yang benar.
4. Setiap mendengar ketukan (dicontohkan) , maka anda harus pindah ke lajur selanjutnya disebelah kanan. Dan mulailah kembali mengerjakan dari bawah keatas di lajur yang baru tersebut.
5. Anda hendaknya bekerja secepat dan seteliti mungkin.
6. Sebagai latihan marilah kita mengerjakan contoh yang terdiri dari 2 lajur angka yang terdapat pada lembaran tes. Kita mulai dari lajur kiri, mulai dari bawah dijumlahkan dengan angka diatasnya. “ya mulai”… setelah 30 detik beri ketukan, “stop, pindah kekolom selanjutnya”. Setelah 30 detik beri ketukan dan ucapkan “ya berhenti”. Setelah mengerjakan contoh pastikan semua testi mengerjakan dengan benar. “sekarang semuanya sudah paham?” , “sekarang letakkan dulu alat tulis anda”
7. Andan buka kertas yang ada dihadapan anda, bila saya beri tanda mulai maka anda mulai mengerjakan dari kolom paling kiri dari bawah keatas. Bila saya ketuk maka anda harus pindah kekolom selanjutnya. “Siap?” ,, “mulai !!”
Tes kraepelin merupakan tes yang sering digunakan dalam rekruitmen karyawan. Bagi anda yang sudah mengikuti tes kerja, tentunya anda pernah melakukannya. Dimana anda disuguhi lembar kertas yang penuh berisi angka – angka dan anda diminta menjumlahkan angka diatas dan dibawahnya yang berdekatan dalam satu kolom dan menulis hasilnya diantara angka tersebut, kemudian sesuai dengan waktu yang telah ditentukan tester akan meminta anda melanjutkan kekolom selanjutnya sampai waktu tes berakhir.
2.6. Skoring
1. Menyambung / membuat garis dari puncak tertinggi sehingga membentuk grafik
2. Garis timbang : puncak teringgi + puncak terendah : 2
3. Kecepatan testi mengerjakan lajur tiap menit :
2 x ( jumlah angka diatas garis timbang – angka dibawah garis timbang) : 40
4. Ketelitian :
Jumlah kesalahan 15 lajur ( 5 lajur terdepan, 5 lajur tengah dan 5 lajur terakhir)
2.7. Interpretasi
Interpretasi hasil dapat mencakup :
1. Kecepatan, bisa mengindikasikan tempo kerja
2. Ketelitian, bisa mengindikasikan konsentrasi kerja
3. Keajekan, bisa mengindikasikan stabilitas emosi.
4. Ketahanan, bisa mengindikasikan daya tahan terhadap situasi keadaan menekan.
Individu dikatakan memiliki perfoma kerja yang baik jika dalam rentang waktu yang lama, dalam situasi menekan ( stressfull) mampu menunjukan kerja yang cepat, teliti dan stabil.
BAB III
KESIMPULAN
Menurut Dr. J. de Zeeuw, tes Kraepelin digolongkan sebagai tes yang mengukur faktor – faktor khusus non intelektual (tes konsenterasi). Sedangkan menurut Anne Anestesi, tes Kraepelin merupakan tes kecepatan. Ini ditunjukan dengan banyaknya soal yang dibatasi waktu dimana testi dipastikan tidak dapat menyelesaikan seluruh soal. Jadi pada tes Kraepelin memang testi tidak diharapkan untuk menyelesaikan seluruhnya setiap lajur. Yang dilihat disini adalah kecepatan kerja testi.
Selain kecepatan kerja, faktor – faktor lain yang diungkapkan adalah ketelitian, konsenterasi dan stabilitas kerja. Aspek – aspek yang berpengaruh bermacam – macam, misalnya persepsi visual, konseptual, koordinasi senso-motorik, pushing power, ketahanan, learning effect.
Tes kraepelin dimaksudkan untuk mengukur maximum performance seseorang. Oleh karenanya tekanan skoring dan interpretasi lebih didasarkan pada hasil test secara obyektif bukan pada arti proyektifnya.
• Dari hasil perhitungan obyektif, dapat diinterpretasikan 4 hal :
5. Faktor kecepatan (speed factor)
6. Faktor ketelitian (accuracy factor)
7. Faktor keajekan (rithme factor)
8. Faktor ketahanan (ausdeur factor)

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting Coupons