A. Pendidikan Multikultural dalam
konteks NKRI
Pendidikan di Indonesia
secara perundangan telah diatur dengan memberikan ruang keragaman sebagai
bangsa. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 4 UU N0. 20 Tahun
2003 menjelaskan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis,
tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai
kultural, dan kemajemukan bangsa. Dasar perundangan ini selain memberi arahan
pendidikan di Indonesia juga mewajibkan bahwa pendidikan di Indonesia
harus dikembangan berdasarkan nilai-nilai keagamaan, kultural, dan kemajemukan
bangsa.
Wacana pendidikan
multikultural di Indonesia yang didasarkan pada UU Sisdiknas di
atas tidak dapat dilepaskan dengan gelombang reformasi pendidikan
dunia. Sebagai bangsa, Indonesia tidak bisa lepas dari pengaruh dunia lebih
luas. Globalisasi menjadikan keterikatan bangsa-bangsa sebagai kesatuan
komunitas dunia.
Kuper
(2000) sebagaimana dikutip Pupu Saeful Rahmat menyepadankan
pendidikan multikultural dengan pendidikan multibudaya. Gelombang pendidikan
multibudaya dimulai sebagai gerakan reformasi pendidikan di AS selama
perjuangan hak-hak kaum sipil Amerika keturunan Afrika pada tahun 1960-an dan
1970-an. Perubahan kemasyarakatan yang mendasar seperti integrasi sekolah-sekolah
negeri dan peningkatan populasi imigran telah memberikan dampak yang besar atas
lembaga-lembaga pendidikan. Pada saat para pendidik berjuang untuk menjelaskan
tingkat kegagalan dan putus sekolah murid-murid dari etnis marginal, beberapa
orang berpendapat bahwa murid-murid tersebut tidak memiliki pengetahuan budaya
yang memadai untuk mencapai keberhasilan akademik.
Secara teknis
pendidikan multi budaya juga dikembangkan oleh Banks (1993). Banks
mendiskripsikan evolusi pendidikan multibudaya dalam empat fase. Pertama, ada
upaya untuk mempersatukan kajian-kajian etnis pada setiap kurikulum. Kedua, hal
ini diikuti oleh pendidikan multietnis sebagai usaha untuk menerapkan persamaan
pendidikan melalui reformasi keseluruhan sistem pendidikan. Ketiga, kelompok-kelompok
marginal yang lain, seperti perempuan, orang cacat, homo dan lesbian, mulai
menuntut perubahan-perubahan mendasar dalam lembaga pendidikan. Fase keempat
perkembangan teori, riset dan praktik, perhatian pada hubungan antarras,
kelamin, dan kelas telah menghasilkan tujuan bersama bagi kebanyakan ahli
teoretisi. Gerakan reformasi mengupayakan transformasi proses pendidikan dan
lembaga-lembaga pendidikan pada semua tingkatan sehingga semua murid, apa pun
ras atau etnis, kecacatan, jenis kelamin, kelas sosial dan orientasi seksualnya
akan menikmati kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan.
Hak-hak hidup bersama
dan memeroleh penghidupan yang layak sebagai warga dunia juga menjadi
perhatian dalam konsep pendidikan multikltural. Inilah yang mejadi titik
tolak Nieto (1992) dalam melihat perspektif pendidikan multikultral.
Nieto menyebutkan bahwa pendidikan multibudaya bertujuan untuk sebuah
pendidikan yang bersifat anti rasis; yang memerhatikan
keterampilan-keterampilan dan pengetahuan dasar bagi warga dunia; yang penting
bagi semua murid; yang menembus seluruh aspek sistem pendidikan; mengembangkan
sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang memungkinkan murid bekerja bagi
keadilan sosial; yang merupakan proses dimana pengajar dan murid bersama-sama
memelajari pentingnya variabel budaya bagi keberhasilan akademik; dan
menerapkan ilmu pendidikan yang kritis yang memberi perhatian pada bangun
pengetahuan sosial dan membantu murid untuk mengembangkan keterampilan dalam
membuat keputusan dan tindakan sosial.
Konsep-konsep
pendidikan multkultural yang dikembangkan pakar dunia tersebut telah diadopsi
oleh para pakar pendidikan di Indonsia yang konsen terhadap persoalan
pluralisme. Parsudi Suparlan, pakar ilmu sosial dari UI, menjelaskan
bahwa multikulturalisme adalah konsep yang mampu menjawab tantangan perubahan
zaman dengan alasan multikulturalisme. Multikulturalisme merupakan sebuah
idiologi yang mengagungkan perbedaaan budaya atau sebuah keyakinan yang
mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai corak kehidupan
masyarakat. Multikulturalisme akan menjadi pengikat dan jembatan yang
mengakomodasi perbedaan-perbedaan termasuk perbedaan kesukubangsaan dan suku
bangsa dalam masyarakat yang multikultural. Perbedaan itu dapat terwadahi di tempat-tempat
umum, tempat kerja, pasar, dan sistem nasional dalam hal kesetaraan
derajat secara politik, hukum, ekonomi, dan sosial.
Wacana pendidikan
multikultural di Indonesia telah bergaung sejak tahun 2000. Frans Magnis Suseno
ketika itu menulis di harian Suara Pembaharuan. Suseno mendefinisikan
pendidikan pluralisme sebagai pendidikan yang mengandaikan kita untuk membuka
visi pada cakrawala yang lebih luas serta mampu melintas batas kelompok etnis
atau tradisi budaya dan agama kita, sehingga kita mampu melihat
‘kemanusiaan’ sebagai sebuah keluarga yang memiliki perbedaan maupun kesamaan
cita-cita. Muaranya adalah terbangunnya nilai-nilai dasar kemanusiaan untuk
perdamaian, kemerdekaan, dan solidaritas. Bangsa Indonesia dalam konteks
fitrah keragamannnya diikat oleh perbedaan-perbedaan. Perbedaan itu
meliputi agama atau kepercayaannya terhadap Tuhan Yang Mahaesa; warna kulit
atau ras; etnis atau kesukuan, dan kebudayaan atau adat kebiasaan. Menempatkan
dan menyadari perbedaan empat pilar tersebut dalam praktik pendidikan haruslah
dilakukan.
Kesadaran tersebut
terbangun manakala seluruh aktivitas pendidikan di Indonesia dimuarakan pada
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Penggalian ajaran agama, ras, suku,
dan kebudayaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan haruslah
ditanamkan pada peserta didik. Memanusiakan manusia sebagai kedudukan yang
mulia merupakan ajaran semua agama. Semua agama sebagai keyakinan warga
bangsa Indonesia mengakui bahwa menghargai orang lain merupakan
kewajiban; memudahkan sesama umat manusia merupakan perintah Tuhan; menolong
adalah perbuatan terpuji; umat yang taat adalah umat yang menjaga perdamaian
hidup; dan mencintai sesama adalah ajaran semua agama.
Dengan demikian, pendidikan multikulturalisme di Indonesia haruslah menggali nilai-nilai agama, etnis, suku, dan budaya peserta didik sebagai keyakinan mereka yang mengajarkan bahwa perbedaan adalah fitrah Tuhan. Dalam segala perbedaan, rasa cinta dan kasih sayang sesama manusia merupakan hal yang harus terus ditumbuhkan. Dengan konsep ini, pendidikan mampu menciptakan toleransi, tindakan saling menolong, kedamaian, dan meningkatkan kualitas kemanusiaan dengan pola pembelajaran yang memiliki visi dan tindakan pembiasaan di semua satuan pendidikan.
Dengan demikian, pendidikan multikulturalisme di Indonesia haruslah menggali nilai-nilai agama, etnis, suku, dan budaya peserta didik sebagai keyakinan mereka yang mengajarkan bahwa perbedaan adalah fitrah Tuhan. Dalam segala perbedaan, rasa cinta dan kasih sayang sesama manusia merupakan hal yang harus terus ditumbuhkan. Dengan konsep ini, pendidikan mampu menciptakan toleransi, tindakan saling menolong, kedamaian, dan meningkatkan kualitas kemanusiaan dengan pola pembelajaran yang memiliki visi dan tindakan pembiasaan di semua satuan pendidikan.
B. Pendidikan Multikultural dalam
konteks Globalisasi
1.
Karakteristik Masyarakat Global
Menurut
A.W.Pratiknya (Choirul Mahfud, 2005:109), beberapa kecenderungan perkembangan
masyarakat pada era global adalah sebagai berikut:
a. Masyarakat fungsional, yaitu masyarakat yang masing-masing
warganya dalam berhubungan social hanya terjadi karena adanya kegunaan atau
fungsi tertentu. Ini berarti, hubungan antarmanusia akan lebih diwarnai oleh
motif-motif kepentingan (fungsional), yang biasanya berkonotasi “fisik
materii”. Hal-hal yang berada diluar itu, dengan sendirinya kurang mendapatkan
perhatian yang sewajarnya.
b. Masyarakat teknologis, yaitu masyarakat yang semua
urusan dan kegiatannya harus dikerjakan menurut tekniknya masing-masing, yang
cenderung sudah baku. Pola kehidupan yang teknologis membawa konsekuensi nilai,
yaitu makin dominannya pertimbangan efisiensi, produktivitas dan jenisnya yang
pada umumnya menggambarkan cirri-ciri materialistic.
c. Masyarakat saintifik, yaitu masyrakat yang dalam
menghargai manusia lebih diwarnai oleh seberapa jauh hal itu bernilai rasional
objektif, provable (dapat dibuktikan secara empiric dan kaidah-kaidah ilmiah
yang lain). Dalam masyarakat semacam ini ilmu pengetahuan dan teknologi semakin
lama akan menunjukan peran yang semakin penting.
d. Masyarakat terbuka, yaitu suatu masyarakat yang
sepenuhnya berjalan dan diatur oleh system. Dinamika kehidupan diatur oleh
system, bukan diatur oleh orang. Dan system ini tidak saja bersifat local,
nasional, atau regional, tetapi bersifat global.
e. Transendentalisasi agama, yaitu masyarakat yang
meletakan agama semata-mata sebagai masalah individu (personal/pribadi). Tuhan
tidak lagi diberi otoritas untuk mengatur dinamika alam dan kehidupan. Agama
seolah disisihkan dari dinamika social masyarakat.
f. Masyarakat serba nilai, yaitu berkembangnya
nilai-nilai budaya masyarakat yang timbul akibat modernisasi itu sendiri.
Beberapa kecenderungan tersebut antara lain: sekulerisme, materialism,
individualism, hedonism, dan sebagainya.
2.
Strategi Menghadapi Tantangan Globalisasi
Nils
A.Shapiro, editor Gallery Magazine (Choirul Mahfud, 2005:112) berpendapat bahwa
ada enam kiat sukses menghadapi tantangan globalisasi
a. Perencanaan yang cermat (carefull planning)
Dengan perencanaan, keberhasilan menjadi lebih mudah
teraih. Tanpa perencanaan hidup seperti berjalan tanpa arah. Sulit dievalusi,
apakag gagal atau berhasil, karena tidak ada standar yang dapat dipergunakan
sebagai tolak ukur. Dengan perencanaan yang cermatm segala sesuatunya dapat diperhitungkan
sebelumnya, dank arena itu pula dapat dilakukan antisipasi terhadap
kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi. Ketika seseorang beranjak
dewasa, semestinya perencanaan hidupnya sudah semakin matang dan cermat.
b. Pelatihan dan pengalaman (training and exsperiance)
Pelatihan dan pengalaman akan meningkatkan
profesionalisme seseorang dalam bidang kehidupan. Pada umumnya pekerja
professional harus memiliki keahlian, komitmen, dan skill yang relefan dengan
bidang pekerjaannya dan melewati tiga titian: well educated, well trained, dan
well paid
c. Bersedia belajar dari orang lain (willingness to
learn from athers)
Sumber belajar, menurut teori pendidikan, tidaklah
terbatas pada guru dalam arti pengajar formal disekolah. Kita dapat pula
belajar banyak dari buku. Dan buku yang paling banyak memberikan pelajaran
berharga sebenarnya adalah pengalaman orang lain. Maka sangatlah merugi jika
orang tidak mau belajar dari pengalaman orang lain. Kehidupan oranglain dapat
menjadi cermin yang baik bagi siapapun yang bersedia berkaca.
d. Bersedia bekerja sama selama dan sekeras diperlukan
(comitmmen to working as long and as hard as necessary)
Kerja keras adalah cirri orang sukses. Peluang dan
kesempatan hanya akan datang kepada pekerja keras. Orang yang harus memiliki
motivasi yang kuat untuk mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki agar dapat
meraih keberhasilan hidup. Kerja keras muncul karena dorongan psikologis dalam
diri yang merangsangnya sedemikian rupa sehingga bersedia melakukan berbagai
kegiatan untuk mencapai tujuan yang didambakan. Motivasi itu akan kuat apabila
tumbuh dari dalam diri sendiri. Untuk itu orang perlu mengatur pikiran, energy,
waktu, tempat, benda, dan sumberdaya yang lainnya dengan baik agar semua dapat
diarahkan sehingga mencapai tujuan yang dicita-citakan.
e. Tabah menghadapi kekecewaan dan kemunduran (courage
to over come disappointment and setbeacks)
Tiada kehidupan tanpa kesalahan, kekalahan, dan
kegagalan. Orang perlu memperbesar ketahanannya terhadap frustasi, kegelisahan,
kejengkelan dan segala macam kekecewaan. Karena dalam hidup, hal itu tidak
mungkin dilenyapkan. Kalau orang dapat menerima kekecewaan secara wajar,
hidupnya akan lebih menyenangkan. Sebenarnya, kegagalan bukanlah hanya memiliki
sisi negative semata jika saja dihadapi dengan arif dan cerdas. Kegagalan dapat
dianggap sebagai benih keberhasilan. Agar kita dapat memperoleh manfaat dari
kegagalan ada dua hal yang harus dilakukan, yaitu cari sebab-sebab kegagalan
dan cegah agar tidak terulang kembali.
f. Kemampuan bersikan jujur (ability to be honest)
Kesuksesan yang bertahan lama adalah kesuksesan yang
dikembangkan diatas landasan kejujuran. Tanpa kejujuran, keberhasilan yang
diraih bersifat semua dan sementara. Jika kepalsuan sudah terbongkar, runtuhlah
seluruh bangunan usaha yang dengan susah payah dibangun.
C. Pendidikan Multikultural dalam
konteks Pembentuk Karakter Bangsa
Pendidikan diharapkan
mampu mentransformasikan peserta didik dari belum dewasa mejadi dewasa. Ciri
manusia dewasa adalah manusia yang memiliki karakter. Karena itu setiap orang
dewasa memiliki karakter sebagaimana dirinya sendiri. Pendidikan karenanya
mendorong seseorang menjadi diri sendiri. Wuryanano (2011:22)
menyatakan bahwa karakter dapat dibentuk melalui tahapan pembentukan pola
pikir, sikap, tindakan, dan pembiasaan.
Karakter merupakan
nilai-nilai yang melandasi perilaku manusia berdasarkan norma agama,
kebudayaan, hukum atau konstitusi, adat istiadat, dan estetika. Jika dikaitkan
dengan pendidikan, pendidikan karakter adalah upaya yang terencana untuk
menjadikan peserta didik mengenal, peduli dan menginternalisasi nilai-nilai
sehingga peserta didik berperilaku sebagai insan kamil. Dalam rumusan lain
dapat didefinisikan bahwa pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman
nilai-nilai perilaku atau karakter kepada warga belajar yang meliputi
pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan
nilai-nilai, baik terhadap Tuhan Yang Mahaesa, diri sendiri, sesama,
lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi insan kamil. Definisi tersebut
mengamanatkan bahwa dengan segala perbedaan bangsa Indonesia, pendidikan di
Indonesia bertujuan menjadikan warga belajar memiliki empat karakter
pokok: manusia beragama, manusia sebagai pribadi, manusia sosial, dan manusia
sebagai warga bangsa.
Berdasarkan empat
karakter pokok tersebut dalam praktik pendidikan di Indonesia, lembaga
pendidikan diharapkan mengembangkan pembiasaan berpikir dan bertindak dengan
berfokus delapan belas nilai kehidupan. Penanaman nilai-nilai tersebut
diharapkan dapat membentuk karakter peserta didik. Kedelapan belas karakter
tersebut adalah sebagai berikut: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja
keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan,
cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat, cinta damai, gemar membaca,
peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Nilai-nilai
pembentuk karakter yang harus dikembangkan di setiap lembaga pendidikan
tersebut pada dasarnya merupakan pembentuk karakter insan kamil secara
universal. Di tengah keragaman bangsa-bangsa di dunia, manusia Indonesia
haruslah memiliki karakter keindonesiaan. Inilah sebagai penanda bangsa
Indonesia yang memiliki identitas diri yang berbeda dengan bangsa lain.
Dalam rangka
terbentuknya karakter keindonesiaan itu, penanaman nilai semangat kebangsaan
dan cinta tanah air merupakan hal yang urgen. Nilai semangat kebangsaan
dideskripsikan sebagai cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang
menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
Nilai cinta tanah air dideskripsikan sebagai cara berpikir, bersikap, dan
berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang
tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan
politik bangsa. Dua nilai inilah sebagai basik karakter keindonesiaan. Karakter
keindonesiaan dalam konteks ini didefinisikan sebagai karakter manusia
Indonesia yang membedakan dengan manusia bangsa lain sebagai perwujudan
eksistensi diri dan citra diri bangsa Indonesia. Pengertian ini dalam
kata kunci dapat diringkas sebagai ’karakter nasionalis’.
Meskipun warga
Indonesia berbeda agama, ras, suku, dan kebudayaan, aktivitas dan proses
pendidikan haruslah dimuarakan pada karakter nasionalis pada peserta didiknya.
Perlu diyakinkan kepada seluruh peserta didik bahwa keberadaan kita hari ini
selalu terikat oleh rasa kebangsaan. Meski kita berbeda agama, ras, suku, dan
budaya, kita memiliki satu persamaan. Kita sama-sama di lahirkan di
Indonesia. Kita sama-sama hidup dan dibesarkan di Indonesia. Kita bekerja
mencari rezeki di Indonesia. Kelak kita mati juga di Indonesia. Wajar
agama mengajarkan kepada kita bahwa mencintai tanah air sebagai bagian dari
iman. Pertanyaan yang perlu dipertanyakan kepada warga belajar adalah: apa yang
dapat kita berikan kepada Indonesia?
Karakter keindonesiaan
melalui penanaman nilai kebangsaan dapat dilakukan dengan penanaman sikap
kepada peserta didik dalam bentuk penanaman kesadaran nasional. Sebagai bangsa
yang memiliki sejarah panjang, bentuk-bentuk kesadaran nasionalis Indonesia
berupa: kesadaran kebanggaan sebagai bangsa, kemandiriaan dan keberanian
sebagai bangsa, kesadaran kehormatan sebagai bangsa, kesadaran
melawan penjajahan, kesadaran berkorban demi bangsa, kesadaran
nasionalisme bangsa lain, dan kesadaran kedaerahan menuju kebangsaan. Sejalan
dengan konsep karakter keindonesiaan di atas, Tilaar (2003:173) menyatakan
bahwa pendidikan multikultural diharapkan dapat mempersiapkan anak didik secara
aktfi sebagai warga negara yang secara etnik, kultural, dan agama beragam,
menjadi manusia-manusia yang menghargai perbedaan, bangga terhadap diri
sendiri, lingkungan, dan realitas yang majemuk.
Pendidikan
multikultural juga memiliki kaitan yang signifikan dalam perkembangan dunia
global. Keragaman bangsa-bangsa di dunia menuntut warga dunia mengenal
perbedaan agama, kepercayaan, ideologi, etnik, ras, warna kulit, gender, seks,
kebudayaan, dan kepentingan (Yaqin, 2005:4). Dalam konteks ini diperlukan
pemecahan masalah melalui pendidikan multikultual yang menawarkan kepada
peserta didik tentang cara pandang dan sikap dalam menghadapi perbedaan dan
heterogenitas kelompok etnis, relasi gender, hubungan antaragama, kelompok
kepentingan, kebudayaan dan subkultural, serta bentuk-bentuk keragaman
lainnya. Dalam mengembangkan pendidikan multikultural tersebut, Burnett
(1994) dalam Naim dan Sauqi (2008:213) mengembangkan empat nilai. Keempat nilai
tersebut adalah: apresiasi terhadap kenyataan pluralitas budaya dalam
masyarakat; pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia dan hak asasi
manusia; pengembangan tanggung jawab masyarakat dunia; dan pengembangan
tanggung jawab manusia terhadap planet bumi.
Nilai-nilai tersebut
dapat diadopsi dalam prinsip dasar pengembangan model pembelajaran
berbasis pendidikan multikultural keiindonesiaan. Pertama, pendidikan
multikultural sebaiknya dimulai dari diri sendiri. Prinsip ini menekankan bahwa
pendidikan multikultural harus dimulai dari pengenalan terhadap jati diri
sendiri. Penanaman bahwa diri peserta didik merupakan bagian dari warga bangsa
merupakan hal penting. Rasa bangga sebagai warga bangsa Indonesia harus menjadi
pijakan.
1. Pendidikan
multikultural hendaknya dikembangkan agar pembelajar tidak mengembangkan sikap
etnosentris kesukuan dan sebaliknya membangun kesadaran hidup dalam lingkup
kebangsaindonesiaan. Dengan mengembangkan sikap yang nonetnosentris, kebencian
dan konflik antaretnis dapat dihindarkan karena perasaan satu bangsa.
Pendidikan multikultural bertujuan membangun kesadaran yang tidak
bersifat egosentris yang mengunggulkan diri dan kelompoknya dan merendahkan
kelompok lain. Kesadaran satu bangsa meski berbeda kelompok sosial
merupakan hal penting untuk ditumbuhkembangkan sebagai jembatan jiwa
nasionalisme.
2. Pendidikan
multikultural dikembangkan secara integratif. Kurikulum pendidikan
multikultural menjangkau seluruh isi pendidikan. Kurikulum pendidikan
multikultural harus terintegrasi ke dalam semua mata pelajaran, seperti bahasa,
ilmu pengetahuan sosial, sains, pendidikan jasmani, kesenian, dan mata pelajaran
lainnya.
3. Pendidikan
multikultural harus menghasilkan sebuah perubahan dalam bentuk perubahan sikap
melalui pembiasaan. Praktik pembelajaran didesain dalam suasana masyarakat
belajar yang menghargai perbedaan, toleransi, dan tujuan bersama mencintai bangsa
dan negara. Untuk mencapai suasana demikian, pembelajaran harus
berorientasi pada proses, misalnya bermain peran, simulasi, diskusi,
pembelajaran kooperatif, dan pembelajaran partisipatoris.
4. Pendidikan
multikultural harus mencakup realitas sosial dan kesejarahan dari agama,
etnis, dan suku yang ada. Kontekstualisasi pendidikan multikultural harus
bersifat lokal, nasional, dan global. Kebanggaan memiliki nilai kearifan lokal
harus ditumbuhkan. Kesadaran nasionalisme harus menjadi tujuan bersama
pendidikan nasional. Kesadaran sebagai warga global dengan menjunjung tinggi
nilai-nilai perdamaian antarbangsa perlu dikembangkan. Kontekstualisasi semacam
ini memiliki makna penting untuk menumbuhkan rasa hormat, toleran, dan
menghargai keberagaman dalam lingkup kelompok sosial masyarakat, negara, dan
dunia.
D. Pendidikan multikultur dalam
konteks menyikapi perbedaan
Pendidikan multikultural adalah
konsep atau ide sebagai suatu rangkaian kepercayaan (set of believe) dan
penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis
dalam membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi dan
kesempatan-kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun negara (Banks
& Banks, 2001).Pendidikan multikultural dapat dipahami sebagai proses atau
strategi pendidikan yang melibatkan lebih dari satu budaya, yang ditunjukkan
melalui kebangsaan, bahasa, etnik, atau kriteria rasial. Pendidikan
multikultural dapat berlangsung dalam setting pendidikan formal atau
informal, langsung atau tidak langsung. Pendidikan multikultural diarahkan
untuk mewujudkan kesadaran, toleransi, pemahaman, dan pengetahuan yang
mempertimbangkan perbedaan kultural, dan juga perbedaan dan persamaan antar
budaya dan kaitannya dengan pandangan dunia, konsep, nilai, keyakinan, dan sikap
(Aly, 2005).
Dari beberapa definisi tersebut
diketahui bahwa pendidikan multikultural adalah pendidikan yang hendaknya
diaplikasikan dalam masyarakat yang plural, seperti Indonesia.Pendidikan itu
sangat diperlukan terutama oleh negara demokrasi baru seperti Indonesia, untuk
melakukan rekosntruksi sosial dengan mengembangkan civic skill, yakni
keterampilan menjadi warga dari masyarakat demokratis yang di antaranya mampu
bersikap toleran dan mengakomodasi berbagai jenis perbedaan untuk kesejahteraan
bersama.
Kondisi pendidikan di Indonesia yang
masih diwarnai dengan warna dominan monokultur daripada multikultur membuat
pendidikan Indonesia mengalami suatu kemunduran. Kemunduran yang dimaksud lebih
terlihat dari segi sosial dan budaya, dengan menghadapi berbagai krisis,
seperti begitu mudahnya muncul prasangka, konflik, kekerasan dan saling
menegasikan sesama anak bangsa (Maliki, 2010: 256 ). Sepanjang tahun 2012 saja,
kita cukup banyak disuguhi berita terkait konflik atau tawuran antar warga
seperti yang terjadi di Lampung, Jawa Timur dan sebagainya. Hal yang sama juga
terjadi dalam dunia pendidikan, dimana beberapa tawuran antar pelajar
atau mahasiswa juga menghiasi pemberitaan nasional. Salah satu contohyang cukup
menyita perhatian besar adalah tawuran antar mahasiswa di Makassar
atau tawuran antar pelajar SMAN 6 Jakarta dan SMAN 70 Jakarta yang hingga
menyebabkan seorang pelajar tewas.
Memprihatinkan, karena pemicu
berbagai konflik dan tawuran antar pelajar tersebut biasanya hanyalah hal yang
sebenarnya sepeleatau hal-hal yang kecil seperti perbedaan
pendapat, perbedaan kebiasaan, perbedaan bahasa atau perbedaan gaya hidup dan
sebagainya. Hal yang sebenarnya sepelemenjadi potensi besar pemicu
konflik dan pertentangan antar pelajar karena selama ini yang menjadi semangat
pendidikan di Indonesia adalah semangat monokultur dan bukannya multikultur.
Oleh karena itu, pendidikan multikultur adalah suatu solusi karena
memberikan suatu dasar yang benar yaitu mengajak melihat perbedaan sebagai
sesuatu yang wajar (Maliki, 2010: 254).
Pendidikan multikultural di
Indonesia hendaknyadilakukan dengan memperhatikan perspektif pengelolaan
pluralisme budaya yang ada di masyarakat, yang pada tataran teoritik terdapat
dua perspektif, yaitu:
- Pendekatan convensionalism yang mengakui keanekaragaman identitas budaya. Dalam hal ini masing-masing entitas budaya diberi hak membawa simbol-simbol dan lambang yang mereka milikike ranah publik. Konsep kesatuan dalam hal ini distruktur oleh keragaman budaya atau yang dikenal dengan unity in diversity.
- Perspektif deconvensionalism yang dalam hal ini harus ada penataan pengelolaan simbol-simbol askribtif di ruang publik. Simbol dan lambang-lambang yang direpresentasikan identitas atau budaya partikular tidak boleh di bawa ke ranah publik. Dalam interelasi dengan publik hanya diperbolehkan memakai lambang atau simbol-simbol bersama. Konsep kesatuan kemudian dikenal dengan unity without diversity .
(Maliki, 2010 : 263)
Unity in
diversity menjadi perspektif yang tepat dalam menerapkan pendidikan
multikultural di Indonesia. Hal tersebut terjadi karena masyarakat Indonesia
yang bahkan sebelum terbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) sudah terdiri dari masyarakat yang berbeda-beda, baik secara horizontal
(perbedaan suku bangsa, agama, adat istiadat atau tradisi dan unsur-unsur
kedaerahan lainnya) maupun vertikal (perbedaan yang berdasarkan kualitas
atau kadarnya misalnya : dari aspek ekonomis, dari aspek pendidikan, dari aspek
sumber daya daerah serta dari aspek sarana dan prasarana komunikasi dan
transportasi) (Mutakindkk, 2004: 246).Hal inisecara tidak langsung menegaskan
bahwa memang perbedaan menjadi identitas bangsa Indonesia yang sebenarnya.
Meskipun perspektif ini juga dapat berpotensi melahirkan konflik dan prasangka
antar etnis jika tidak dapat mengelolanya dengan benar. Oleh karena itu,
pendidikan multikultural dengan prinsip unity in diversity dalam
pendidikan Indonesia tetap dilandasi dengan prinsip nasionalisme.
Prinsip-prinsip nasionalisme
menjadi asas tujuan pendidikan nasional, karena mengandung nilai-nilai
seperti:
- Unity (kesatuan persatuan) lewat proses intergrasi dalam sejarah berdasarkan solidaritas nasional yang melampaui solidaritas, lokal etnis, tradisional.
- Liberty (kebebasan) setiap individu dilindungi hak-hakasasinya, kebebasan berpendapat, berkelompok, kebebasan dihayati dengan penuh tanggung jawab sosial.
- Equality (persamaan) hak dan kewajiban, persamaan kesempatan
- Berkaitan dengan prinsip ke-2 dan ke-3 ada prinsip kepribadian atau individualitas. Pribadi perorangan dilindungi hukum antara lain dalam hak milik, kontrak, pembebasan dari ikatankomunal dan primordial
- Performance (hasil kerja) baik secara individual maupun kolektif. Setiap kelompok membutuhkan rangsangan dan inspirasi untuk memacu prestasi yang dapat dibanggakan.
(Kartodirdjo, 1993 : 48)
DAFTAR PUSTAKA
Aly, A. 2005. “Pendidikan
Multikultural dalam Tinjauan Pedagogik”. Makalah dipresentasikan pada Seminar Pendidikan Multikultural
sebagai Seni Mengelola Keragaman, yang
diselenggarakan oleh Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial (PSB-PS). Universitas Muhammadiyah
Surakarta. Sabtu, 8 Januari 2005
Banks,
J. 1993. Multicultural Education:
Historical Development, Dimension, and Practice. Review of Research in Education.
Banks, James A dan Banks, C.A.M.
(Eds). 2001. Handbook of Research on Multicultural Education. New York: MacMillan.
Kartodirdjo, Sartono. 1993. Pembangunan
Bangsa. Yogyakarta : Aditya Media
Kuper, Adam
& Jessica Kuper. 2000. Ensiklopedi
Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Maliki, Zainuddin. 2010. Sosiologi
Pendidikan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
Mutakin, Awan, Dasim Budimansyah
, Gurniawan Kamil Pasya. 2004. Dinamika Masyarakat Indonesia. Bandung :
PT. Genesindo
Naim,
Ngainun dan Achmad Sauqi. 2008. Pendidikan
Multikultural: Konsep dan Aplikasi. Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media.
Suseno,
Frans Magnis. 2000. “Pendidikan Pluralisme”
dalam Suara Pembaharuan.
Tilaar,
H.A.R. 2003. Kekuasaan dan Pendidikan:
Suatu Tinjauan dari Perspektif Kultural. Magelang:
Indonesia Tera.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Wuryanano.
2011. Mengapa Doa Saya Selalu Dikabulkan.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Yaqin, M.
Ainul. Pendidikan Multikultural:
Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan
Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media.
0 komentar:
Posting Komentar
TULIS KOMENTAR DENGAN BAHASA YANG SOPAN