Selasa, 09 Juni 2015

Pendidikan Multikultural dalam Berbagai Konteks



A.    Pendidikan Multikultural dalam konteks NKRI
Pendidikan di Indonesia secara perundangan telah diatur dengan memberikan ruang keragaman sebagai bangsa. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional  Pasal 4 UU N0. 20 Tahun 2003 menjelaskan  bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Dasar perundangan ini selain memberi arahan pendidikan di Indonesia juga mewajibkan bahwa  pendidikan di Indonesia harus dikembangan berdasarkan nilai-nilai keagamaan, kultural, dan kemajemukan bangsa.
Wacana pendidikan multikultural di Indonesia yang didasarkan pada UU Sisdiknas di atas   tidak dapat dilepaskan dengan gelombang reformasi pendidikan dunia. Sebagai bangsa, Indonesia tidak bisa lepas dari pengaruh dunia lebih luas. Globalisasi menjadikan keterikatan bangsa-bangsa sebagai kesatuan komunitas dunia.
Kuper  (2000)  sebagaimana dikutip  Pupu Saeful Rahmat menyepadankan pendidikan multikultural dengan pendidikan multibudaya. Gelombang pendidikan multibudaya dimulai sebagai gerakan reformasi pendidikan di AS selama perjuangan hak-hak kaum sipil Amerika keturunan Afrika pada tahun 1960-an dan 1970-an. Perubahan kemasyarakatan yang mendasar seperti integrasi sekolah-sekolah negeri dan peningkatan populasi imigran telah memberikan dampak yang besar atas lembaga-lembaga pendidikan. Pada saat para pendidik berjuang untuk menjelaskan tingkat kegagalan dan putus sekolah murid-murid dari etnis marginal, beberapa orang berpendapat bahwa murid-murid tersebut tidak memiliki pengetahuan budaya yang memadai untuk mencapai keberhasilan akademik.
Secara teknis pendidikan multi budaya juga dikembangkan oleh Banks (1993).  Banks mendiskripsikan evolusi pendidikan multibudaya dalam empat fase. Pertama, ada upaya untuk mempersatukan kajian-kajian etnis pada setiap kurikulum. Kedua, hal ini diikuti oleh pendidikan multietnis sebagai usaha untuk menerapkan persamaan pendidikan melalui reformasi keseluruhan sistem pendidikan. Ketiga, kelompok-kelompok marginal yang lain, seperti perempuan, orang cacat, homo dan lesbian, mulai menuntut perubahan-perubahan mendasar dalam lembaga pendidikan. Fase keempat perkembangan teori, riset dan praktik, perhatian pada hubungan antarras, kelamin, dan kelas telah menghasilkan tujuan bersama bagi kebanyakan ahli teoretisi. Gerakan reformasi mengupayakan transformasi proses pendidikan dan lembaga-lembaga pendidikan pada semua tingkatan sehingga semua murid, apa pun ras atau etnis, kecacatan, jenis kelamin, kelas sosial dan orientasi seksualnya akan menikmati kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan.
Hak-hak hidup bersama dan memeroleh penghidupan yang layak sebagai warga  dunia juga menjadi perhatian dalam konsep pendidikan multikltural. Inilah yang mejadi titik tolak  Nieto (1992) dalam melihat perspektif pendidikan multikultral. Nieto menyebutkan bahwa pendidikan multibudaya bertujuan untuk sebuah pendidikan yang bersifat anti rasis; yang memerhatikan keterampilan-keterampilan dan pengetahuan dasar bagi warga dunia; yang penting bagi semua murid; yang menembus seluruh aspek sistem pendidikan; mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang memungkinkan murid bekerja bagi keadilan sosial; yang merupakan proses dimana pengajar dan murid bersama-sama memelajari pentingnya variabel budaya bagi keberhasilan akademik; dan menerapkan ilmu pendidikan yang kritis yang memberi perhatian pada bangun pengetahuan sosial dan membantu murid untuk mengembangkan keterampilan dalam membuat keputusan dan tindakan sosial.
Konsep-konsep pendidikan multkultural yang dikembangkan pakar dunia tersebut telah diadopsi oleh para pakar pendidikan di Indonsia yang konsen terhadap persoalan pluralisme.  Parsudi Suparlan, pakar ilmu sosial dari UI, menjelaskan bahwa multikulturalisme adalah konsep yang mampu menjawab tantangan perubahan zaman dengan alasan multikulturalisme. Multikulturalisme merupakan sebuah idiologi yang mengagungkan perbedaaan budaya atau sebuah keyakinan yang mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai corak kehidupan masyarakat. Multikulturalisme akan menjadi pengikat dan jembatan yang mengakomodasi perbedaan-perbedaan termasuk perbedaan kesukubangsaan dan suku bangsa dalam masyarakat yang multikultural. Perbedaan itu dapat terwadahi di tempat-tempat umum, tempat kerja,  pasar, dan sistem nasional dalam hal kesetaraan derajat secara politik, hukum, ekonomi, dan sosial.
Wacana pendidikan multikultural di Indonesia telah bergaung sejak tahun 2000. Frans Magnis Suseno ketika itu menulis di harian Suara Pembaharuan. Suseno mendefinisikan pendidikan pluralisme sebagai pendidikan yang mengandaikan kita untuk membuka visi pada cakrawala yang lebih luas serta mampu melintas batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama kita,  sehingga kita mampu melihat ‘kemanusiaan’ sebagai sebuah keluarga yang memiliki perbedaan maupun kesamaan cita-cita. Muaranya adalah terbangunnya nilai-nilai dasar kemanusiaan untuk perdamaian, kemerdekaan, dan solidaritas. Bangsa Indonesia dalam konteks fitrah  keragamannnya diikat oleh perbedaan-perbedaan. Perbedaan itu meliputi agama atau kepercayaannya terhadap Tuhan Yang Mahaesa; warna kulit atau ras; etnis atau kesukuan, dan kebudayaan atau adat kebiasaan. Menempatkan dan menyadari perbedaan empat pilar tersebut dalam praktik pendidikan haruslah dilakukan.
Kesadaran tersebut terbangun manakala seluruh aktivitas pendidikan di Indonesia dimuarakan pada menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Penggalian ajaran agama, ras, suku, dan kebudayaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan haruslah ditanamkan pada peserta didik. Memanusiakan manusia sebagai kedudukan yang mulia merupakan ajaran semua agama. Semua agama sebagai keyakinan  warga bangsa Indonesia mengakui  bahwa  menghargai orang lain merupakan kewajiban; memudahkan sesama umat manusia merupakan perintah Tuhan; menolong adalah perbuatan terpuji; umat yang taat adalah umat yang menjaga perdamaian hidup; dan mencintai sesama adalah ajaran semua agama.
Dengan demikian, pendidikan multikulturalisme di Indonesia haruslah  menggali nilai-nilai agama, etnis, suku, dan budaya peserta didik sebagai keyakinan mereka yang mengajarkan bahwa perbedaan adalah fitrah Tuhan. Dalam segala perbedaan,  rasa cinta dan kasih sayang sesama manusia merupakan hal yang harus terus ditumbuhkan. Dengan konsep ini, pendidikan mampu menciptakan toleransi, tindakan saling menolong, kedamaian, dan meningkatkan kualitas kemanusiaan dengan pola pembelajaran yang memiliki visi dan tindakan pembiasaan di semua satuan pendidikan.
B.     Pendidikan Multikultural dalam konteks Globalisasi

1.      Karakteristik Masyarakat Global
Menurut A.W.Pratiknya (Choirul Mahfud, 2005:109), beberapa kecenderungan perkembangan masyarakat pada era global adalah sebagai berikut:
a.       Masyarakat fungsional, yaitu masyarakat yang masing-masing warganya dalam berhubungan social hanya terjadi karena adanya kegunaan atau fungsi tertentu. Ini berarti, hubungan antarmanusia akan lebih diwarnai oleh motif-motif kepentingan (fungsional), yang biasanya berkonotasi “fisik materii”. Hal-hal yang berada diluar itu, dengan sendirinya kurang mendapatkan perhatian yang sewajarnya.
b.      Masyarakat teknologis, yaitu masyarakat yang semua urusan dan kegiatannya harus dikerjakan menurut tekniknya masing-masing, yang cenderung sudah baku. Pola kehidupan yang teknologis membawa konsekuensi nilai, yaitu makin dominannya pertimbangan efisiensi, produktivitas dan jenisnya yang pada umumnya menggambarkan cirri-ciri materialistic.
c.       Masyarakat saintifik, yaitu masyrakat yang dalam menghargai manusia lebih diwarnai oleh seberapa jauh hal itu bernilai rasional objektif, provable (dapat dibuktikan secara empiric dan kaidah-kaidah ilmiah yang lain). Dalam masyarakat semacam ini ilmu pengetahuan dan teknologi semakin lama akan menunjukan peran yang semakin penting.
d.      Masyarakat terbuka, yaitu suatu masyarakat yang sepenuhnya berjalan dan diatur oleh system. Dinamika kehidupan diatur oleh system, bukan diatur oleh orang. Dan system ini tidak saja bersifat local, nasional, atau regional, tetapi bersifat global.
e.       Transendentalisasi agama, yaitu masyarakat yang meletakan agama semata-mata sebagai masalah individu (personal/pribadi). Tuhan tidak lagi diberi otoritas untuk mengatur dinamika alam dan kehidupan. Agama seolah disisihkan dari dinamika social masyarakat.
f.       Masyarakat serba nilai, yaitu berkembangnya nilai-nilai budaya masyarakat yang timbul akibat modernisasi itu sendiri. Beberapa kecenderungan tersebut antara lain: sekulerisme, materialism, individualism, hedonism, dan sebagainya.
2.      Strategi Menghadapi Tantangan Globalisasi
Nils A.Shapiro, editor Gallery Magazine (Choirul Mahfud, 2005:112) berpendapat bahwa ada enam kiat sukses menghadapi tantangan globalisasi
a.       Perencanaan yang cermat (carefull planning)
Dengan perencanaan, keberhasilan menjadi lebih mudah teraih. Tanpa perencanaan hidup seperti berjalan tanpa arah. Sulit dievalusi, apakag gagal atau berhasil, karena tidak ada standar yang dapat dipergunakan sebagai tolak ukur. Dengan perencanaan yang cermatm segala sesuatunya dapat diperhitungkan sebelumnya, dank arena itu pula dapat dilakukan antisipasi terhadap kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi. Ketika seseorang beranjak dewasa, semestinya perencanaan hidupnya sudah semakin matang dan cermat.
b.      Pelatihan dan pengalaman (training and exsperiance)
Pelatihan dan pengalaman akan meningkatkan profesionalisme seseorang dalam bidang kehidupan. Pada umumnya pekerja professional harus memiliki keahlian, komitmen, dan skill yang relefan dengan bidang pekerjaannya dan melewati tiga titian: well educated, well trained, dan well paid
c.       Bersedia belajar dari orang lain (willingness to learn from athers)
Sumber belajar, menurut teori pendidikan, tidaklah terbatas pada guru dalam arti pengajar formal disekolah. Kita dapat pula belajar banyak dari buku. Dan buku yang paling banyak memberikan pelajaran berharga sebenarnya adalah pengalaman orang lain. Maka sangatlah merugi jika orang tidak mau belajar dari pengalaman orang lain. Kehidupan oranglain dapat menjadi cermin yang baik bagi siapapun yang bersedia berkaca.
d.      Bersedia bekerja sama selama dan sekeras diperlukan (comitmmen to working as long and as hard as necessary)
Kerja keras adalah cirri orang sukses. Peluang dan kesempatan hanya akan datang kepada pekerja keras. Orang yang harus memiliki motivasi yang kuat untuk mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki agar dapat meraih keberhasilan hidup. Kerja keras muncul karena dorongan psikologis dalam diri yang merangsangnya sedemikian rupa sehingga bersedia melakukan berbagai kegiatan untuk mencapai tujuan yang didambakan. Motivasi itu akan kuat apabila tumbuh dari dalam diri sendiri. Untuk itu orang perlu mengatur pikiran, energy, waktu, tempat, benda, dan sumberdaya yang lainnya dengan baik agar semua dapat diarahkan sehingga mencapai tujuan yang dicita-citakan.
e.       Tabah menghadapi kekecewaan dan kemunduran (courage to over come disappointment and setbeacks)
Tiada kehidupan tanpa kesalahan, kekalahan, dan kegagalan. Orang perlu memperbesar ketahanannya terhadap frustasi, kegelisahan, kejengkelan dan segala macam kekecewaan. Karena dalam hidup, hal itu tidak mungkin dilenyapkan. Kalau orang dapat menerima kekecewaan secara wajar, hidupnya akan lebih menyenangkan. Sebenarnya, kegagalan bukanlah hanya memiliki sisi negative semata jika saja dihadapi dengan arif dan cerdas. Kegagalan dapat dianggap sebagai benih keberhasilan. Agar kita dapat memperoleh manfaat dari kegagalan ada dua hal yang harus dilakukan, yaitu cari sebab-sebab kegagalan dan cegah agar tidak terulang kembali.
f.       Kemampuan bersikan jujur (ability to be honest)
Kesuksesan yang bertahan lama adalah kesuksesan yang dikembangkan diatas landasan kejujuran. Tanpa kejujuran, keberhasilan yang diraih bersifat semua dan sementara. Jika kepalsuan sudah terbongkar, runtuhlah seluruh bangunan usaha yang dengan susah payah dibangun.
C.    Pendidikan Multikultural dalam konteks Pembentuk Karakter Bangsa
Pendidikan diharapkan mampu mentransformasikan peserta didik dari belum dewasa mejadi dewasa. Ciri manusia dewasa adalah manusia yang memiliki karakter. Karena itu setiap orang dewasa memiliki karakter sebagaimana dirinya sendiri. Pendidikan karenanya mendorong seseorang menjadi diri sendiri.  Wuryanano (2011:22)  menyatakan bahwa karakter dapat dibentuk melalui tahapan pembentukan pola pikir, sikap, tindakan, dan pembiasaan.
Karakter merupakan nilai-nilai yang melandasi perilaku manusia berdasarkan norma agama, kebudayaan, hukum atau konstitusi, adat istiadat, dan estetika. Jika dikaitkan dengan pendidikan, pendidikan karakter adalah upaya yang terencana untuk menjadikan peserta didik mengenal, peduli dan menginternalisasi nilai-nilai sehingga peserta didik berperilaku sebagai insan kamil. Dalam rumusan lain dapat didefinisikan bahwa pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai perilaku atau karakter kepada warga belajar yang meliputi pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai, baik terhadap Tuhan Yang Mahaesa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi insan kamil. Definisi tersebut mengamanatkan bahwa dengan segala perbedaan bangsa Indonesia, pendidikan di Indonesia bertujuan menjadikan  warga belajar memiliki empat karakter pokok: manusia beragama, manusia sebagai pribadi, manusia sosial, dan manusia sebagai warga bangsa. 
Berdasarkan empat karakter pokok tersebut dalam praktik pendidikan di Indonesia, lembaga pendidikan diharapkan mengembangkan pembiasaan berpikir dan bertindak dengan berfokus delapan belas nilai kehidupan. Penanaman nilai-nilai tersebut diharapkan dapat membentuk karakter peserta didik. Kedelapan belas karakter tersebut adalah sebagai berikut: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab.  Nilai-nilai pembentuk karakter yang harus dikembangkan di setiap lembaga pendidikan tersebut pada dasarnya merupakan pembentuk karakter insan kamil secara universal. Di tengah keragaman bangsa-bangsa di dunia, manusia Indonesia haruslah memiliki karakter keindonesiaan. Inilah sebagai penanda bangsa Indonesia yang memiliki identitas diri yang berbeda dengan bangsa lain. 
Dalam rangka  terbentuknya karakter keindonesiaan itu, penanaman nilai semangat kebangsaan dan cinta tanah air merupakan hal yang urgen. Nilai semangat kebangsaan dideskripsikan sebagai cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. Nilai cinta tanah air dideskripsikan sebagai cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan  yang tinggi terhadap bahasa,  lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa. Dua nilai inilah sebagai basik karakter keindonesiaan. Karakter keindonesiaan dalam konteks ini didefinisikan sebagai karakter manusia Indonesia yang membedakan dengan manusia bangsa lain sebagai perwujudan eksistensi diri dan citra diri bangsa Indonesia.  Pengertian ini dalam kata kunci dapat diringkas sebagai ’karakter nasionalis’.
Meskipun warga Indonesia berbeda agama, ras, suku, dan kebudayaan, aktivitas dan proses  pendidikan haruslah dimuarakan pada karakter nasionalis pada peserta didiknya. Perlu diyakinkan kepada seluruh peserta didik bahwa keberadaan kita hari ini selalu terikat oleh rasa kebangsaan. Meski kita berbeda agama, ras, suku, dan budaya, kita  memiliki satu persamaan. Kita sama-sama di lahirkan di Indonesia. Kita sama-sama hidup dan dibesarkan di Indonesia. Kita bekerja mencari rezeki di Indonesia. Kelak kita mati juga di Indonesia. Wajar  agama mengajarkan kepada kita bahwa mencintai tanah air sebagai bagian dari iman. Pertanyaan yang perlu dipertanyakan kepada warga belajar adalah: apa yang dapat kita berikan kepada Indonesia?
Karakter keindonesiaan melalui penanaman nilai kebangsaan dapat dilakukan dengan penanaman sikap kepada peserta didik dalam bentuk penanaman kesadaran nasional. Sebagai bangsa yang memiliki sejarah panjang, bentuk-bentuk kesadaran nasionalis Indonesia berupa: kesadaran kebanggaan sebagai bangsa, kemandiriaan dan keberanian sebagai bangsa, kesadaran  kehormatan sebagai bangsa,  kesadaran melawan penjajahan, kesadaran  berkorban demi bangsa, kesadaran nasionalisme bangsa lain, dan kesadaran kedaerahan menuju kebangsaan. Sejalan dengan konsep karakter keindonesiaan di atas, Tilaar (2003:173) menyatakan bahwa pendidikan multikultural diharapkan dapat mempersiapkan anak didik secara aktfi sebagai warga negara yang secara etnik, kultural, dan agama beragam, menjadi manusia-manusia yang menghargai perbedaan, bangga terhadap diri sendiri, lingkungan, dan realitas yang majemuk.
Pendidikan multikultural juga memiliki kaitan yang signifikan dalam perkembangan dunia global. Keragaman bangsa-bangsa di dunia menuntut warga dunia mengenal perbedaan agama, kepercayaan, ideologi, etnik, ras, warna kulit, gender, seks, kebudayaan, dan kepentingan (Yaqin, 2005:4). Dalam konteks ini diperlukan pemecahan masalah melalui pendidikan multikultual yang menawarkan kepada peserta didik tentang cara pandang dan sikap dalam menghadapi perbedaan dan heterogenitas kelompok etnis, relasi gender, hubungan antaragama, kelompok kepentingan, kebudayaan dan subkultural, serta bentuk-bentuk keragaman lainnya.  Dalam mengembangkan pendidikan multikultural tersebut, Burnett (1994) dalam Naim dan Sauqi (2008:213) mengembangkan empat nilai. Keempat nilai tersebut adalah: apresiasi terhadap kenyataan pluralitas budaya dalam masyarakat;  pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia dan hak asasi manusia; pengembangan tanggung jawab masyarakat dunia; dan pengembangan tanggung jawab manusia terhadap planet bumi.
Nilai-nilai tersebut dapat diadopsi dalam prinsip dasar  pengembangan model pembelajaran berbasis pendidikan multikultural keiindonesiaan. Pertama, pendidikan multikultural sebaiknya dimulai dari diri sendiri. Prinsip ini menekankan bahwa pendidikan multikultural harus dimulai dari pengenalan terhadap jati diri sendiri. Penanaman bahwa diri peserta didik merupakan bagian dari warga bangsa merupakan hal penting. Rasa bangga sebagai warga bangsa Indonesia harus menjadi pijakan.
1.      Pendidikan multikultural hendaknya dikembangkan agar pembelajar tidak mengembangkan sikap etnosentris kesukuan dan sebaliknya membangun kesadaran hidup dalam lingkup kebangsaindonesiaan. Dengan mengembangkan sikap yang nonetnosentris, kebencian dan konflik antaretnis  dapat dihindarkan karena perasaan satu bangsa. Pendidikan  multikultural bertujuan  membangun kesadaran yang tidak bersifat egosentris yang mengunggulkan diri dan kelompoknya dan merendahkan kelompok  lain. Kesadaran satu bangsa meski berbeda kelompok sosial merupakan hal  penting untuk ditumbuhkembangkan sebagai jembatan jiwa nasionalisme.
2.      Pendidikan multikultural  dikembangkan secara integratif. Kurikulum pendidikan multikultural menjangkau seluruh isi pendidikan. Kurikulum pendidikan multikultural harus terintegrasi ke dalam semua mata pelajaran, seperti bahasa, ilmu pengetahuan sosial, sains, pendidikan jasmani, kesenian, dan mata pelajaran lainnya.
3.      Pendidikan multikultural harus menghasilkan sebuah perubahan dalam bentuk perubahan sikap melalui pembiasaan. Praktik pembelajaran didesain dalam suasana masyarakat belajar yang menghargai perbedaan, toleransi, dan tujuan bersama mencintai bangsa dan negara. Untuk mencapai suasana demikian,  pembelajaran harus berorientasi pada proses, misalnya bermain peran, simulasi, diskusi, pembelajaran kooperatif, dan pembelajaran partisipatoris.
4.      Pendidikan multikultural harus mencakup realitas sosial dan kesejarahan dari agama,  etnis, dan suku  yang ada. Kontekstualisasi pendidikan multikultural harus bersifat lokal, nasional, dan global. Kebanggaan memiliki nilai kearifan lokal harus ditumbuhkan. Kesadaran nasionalisme harus  menjadi tujuan bersama pendidikan nasional. Kesadaran sebagai warga global dengan menjunjung tinggi nilai-nilai perdamaian antarbangsa perlu dikembangkan. Kontekstualisasi semacam ini memiliki makna penting untuk menumbuhkan rasa hormat, toleran, dan menghargai keberagaman dalam lingkup kelompok sosial masyarakat, negara, dan dunia.

D.    Pendidikan multikultur dalam konteks menyikapi perbedaan
Pendidikan multikultural adalah konsep atau ide sebagai suatu rangkaian kepercayaan (set of believe) dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis dalam membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi dan kesempatan-kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun negara (Banks & Banks, 2001).Pendidikan multikultural dapat dipahami sebagai proses atau strategi pendidikan yang melibatkan lebih dari satu budaya, yang ditunjukkan melalui kebangsaan, bahasa, etnik, atau kriteria rasial. Pendidikan multikultural dapat berlangsung dalam setting pendidikan formal atau informal, langsung atau tidak langsung. Pendidikan multikultural diarahkan untuk mewujudkan kesadaran, toleransi, pemahaman, dan pengetahuan yang mempertimbangkan perbedaan kultural, dan juga perbedaan dan persamaan antar budaya dan kaitannya dengan pandangan dunia, konsep, nilai, keyakinan, dan sikap (Aly, 2005).
Dari beberapa definisi tersebut diketahui bahwa pendidikan multikultural adalah pendidikan yang hendaknya diaplikasikan dalam masyarakat yang plural, seperti Indonesia.Pendidikan itu sangat diperlukan terutama oleh negara demokrasi baru seperti Indonesia, untuk melakukan rekosntruksi sosial dengan mengembangkan civic skill, yakni keterampilan menjadi warga dari masyarakat demokratis yang di antaranya mampu bersikap toleran dan mengakomodasi berbagai jenis perbedaan untuk kesejahteraan bersama.
Kondisi pendidikan di Indonesia yang masih diwarnai dengan warna dominan monokultur daripada multikultur membuat pendidikan Indonesia mengalami suatu kemunduran. Kemunduran yang dimaksud lebih terlihat dari segi  sosial dan budaya, dengan menghadapi berbagai krisis, seperti begitu mudahnya muncul prasangka, konflik, kekerasan dan saling menegasikan sesama anak bangsa (Maliki, 2010: 256 ). Sepanjang tahun 2012 saja, kita cukup banyak disuguhi berita terkait konflik atau tawuran antar warga seperti yang terjadi di Lampung, Jawa Timur dan sebagainya. Hal yang sama juga terjadi dalam dunia pendidikan, dimana  beberapa tawuran antar pelajar atau mahasiswa juga menghiasi pemberitaan nasional. Salah satu contohyang cukup menyita perhatian  besar adalah tawuran antar mahasiswa di Makassar atau  tawuran antar pelajar SMAN 6 Jakarta dan SMAN 70 Jakarta yang hingga menyebabkan seorang pelajar tewas.
Memprihatinkan, karena pemicu berbagai konflik dan tawuran antar pelajar tersebut biasanya hanyalah hal yang sebenarnya sepeleatau hal-hal yang kecil seperti  perbedaan pendapat, perbedaan kebiasaan, perbedaan bahasa atau perbedaan gaya hidup dan sebagainya. Hal yang sebenarnya sepelemenjadi potensi besar pemicu konflik dan pertentangan antar pelajar karena selama ini yang menjadi semangat pendidikan di Indonesia adalah semangat monokultur dan bukannya multikultur.  Oleh karena itu, pendidikan multikultur adalah suatu solusi karena memberikan suatu dasar yang benar yaitu mengajak melihat perbedaan sebagai sesuatu yang wajar (Maliki, 2010: 254).
Pendidikan multikultural di Indonesia hendaknyadilakukan dengan memperhatikan perspektif  pengelolaan pluralisme budaya yang ada di masyarakat, yang pada tataran teoritik terdapat dua perspektif, yaitu:
  1. Pendekatan convensionalism yang mengakui keanekaragaman identitas  budaya. Dalam hal ini masing-masing entitas budaya diberi hak membawa simbol-simbol dan lambang yang mereka  milikike ranah publik. Konsep kesatuan  dalam hal ini distruktur oleh keragaman budaya atau yang dikenal dengan unity in diversity.
  2. Perspektif deconvensionalism yang dalam hal ini harus ada penataan pengelolaan simbol-simbol askribtif di ruang publik. Simbol dan lambang-lambang yang direpresentasikan identitas atau budaya partikular tidak boleh di bawa ke ranah publik. Dalam interelasi dengan publik hanya  diperbolehkan memakai lambang atau simbol-simbol bersama. Konsep kesatuan kemudian dikenal dengan unity without diversity .
(Maliki, 2010 : 263)
Unity in diversity menjadi perspektif yang tepat dalam menerapkan  pendidikan multikultural di Indonesia. Hal tersebut terjadi karena masyarakat Indonesia yang   bahkan sebelum terbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah terdiri dari masyarakat yang berbeda-beda, baik secara horizontal (perbedaan suku bangsa, agama, adat istiadat atau tradisi dan unsur-unsur kedaerahan lainnya) maupun vertikal  (perbedaan yang berdasarkan kualitas atau kadarnya misalnya : dari aspek ekonomis, dari aspek pendidikan, dari aspek  sumber daya daerah serta dari aspek sarana dan prasarana komunikasi dan transportasi) (Mutakindkk, 2004: 246).Hal inisecara tidak langsung menegaskan bahwa memang perbedaan menjadi identitas bangsa Indonesia yang sebenarnya. Meskipun perspektif ini juga dapat berpotensi melahirkan konflik dan prasangka antar etnis jika tidak dapat mengelolanya dengan benar. Oleh karena itu, pendidikan multikultural dengan prinsip unity in diversity dalam pendidikan Indonesia tetap dilandasi dengan prinsip nasionalisme.
Prinsip-prinsip nasionalisme menjadi  asas tujuan pendidikan nasional, karena mengandung nilai-nilai seperti:
  1. Unity  (kesatuan persatuan) lewat proses intergrasi dalam sejarah berdasarkan solidaritas nasional yang melampaui solidaritas, lokal etnis, tradisional.
  2. Liberty (kebebasan) setiap individu dilindungi hak-hakasasinya, kebebasan berpendapat, berkelompok, kebebasan dihayati dengan penuh tanggung jawab sosial.
  3. Equality (persamaan) hak dan kewajiban, persamaan kesempatan
  4. Berkaitan dengan prinsip ke-2 dan ke-3 ada prinsip kepribadian atau individualitas. Pribadi perorangan dilindungi hukum antara lain dalam hak milik, kontrak, pembebasan dari ikatankomunal dan primordial
  5. Performance (hasil kerja) baik secara individual maupun kolektif. Setiap kelompok membutuhkan rangsangan dan inspirasi untuk memacu prestasi yang dapat dibanggakan.
(Kartodirdjo, 1993 : 48)

























DAFTAR PUSTAKA

Aly, A. 2005. “Pendidikan Multikultural dalam Tinjauan Pedagogik. Makalah      dipresentasikan pada Seminar Pendidikan Multikultural sebagai Seni Mengelola     Keragaman, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial         (PSB-PS). Universitas Muhammadiyah Surakarta. Sabtu, 8 Januari 2005
Banks,  J. 1993.  Multicultural Education: Historical Development, Dimension, and Practice.        Review of Research in Education.
Banks, James A dan Banks, C.A.M. (Eds). 2001. Handbook of Research on Multicultural  Education. New York: MacMillan.
Kartodirdjo, Sartono. 1993. Pembangunan Bangsa.  Yogyakarta : Aditya Media
Kuper, Adam & Jessica Kuper. 2000. Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: PT Raja          Grafindo Persada.
Maliki, Zainuddin. 2010. Sosiologi Pendidikan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
Mutakin, Awan, Dasim Budimansyah , Gurniawan Kamil Pasya. 2004.  Dinamika Masyarakat Indonesia. Bandung : PT. Genesindo
Naim, Ngainun dan Achmad Sauqi. 2008. Pendidikan Multikultural: Konsep  dan Aplikasi.           Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Suseno, Frans Magnis. 2000. “Pendidikan Pluralisme” dalam Suara Pembaharuan.
Tilaar, H.A.R. 2003. Kekuasaan dan Pendidikan: Suatu Tinjauan dari Perspektif Kultural. Magelang: Indonesia Tera.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan  Nasional.
Wuryanano. 2011. Mengapa Doa Saya Selalu Dikabulkan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Yaqin, M. Ainul. Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi         dan Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media.

0 komentar:

Posting Komentar

TULIS KOMENTAR DENGAN BAHASA YANG SOPAN

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting Coupons